Ku Kira Lebaran Kali Ini ….


 


Aku sempat mengira lebaran tahun ini, akan menjadi salah satu lebaran paling menakutkan dalam perjalanan hidupku. Pertanyaan kapan menikah, sudah punya pacar apa belum, kerja dimana, kenapa memilih bekerja disana, berapa gajinya, cukup kah dengan gajinya, dan pertanyaan lain yg begitu menyesakkan terus menerus berputar dalam pikiranku selama Ramadhan kemarin. Nampaknya, otakku mencoba utk mensimulasikan berbagai momen mengerikan yang mungkin saja terjadi padaku selama lebaran nanti.

Sempat berpikir bahwa lebaran di masa covid sepertinya menjadi lebaran terbaik karena terbatasnya kesempatan bertemu sanak saudara, dan kerabat. Ternyata ketika lebaran kali ini benar-benar datang, semua simulasi yg pernah berputar di otakku tak sepenuhnya terjadi.

Aku memang tak mudik kemana-mana, karena setelah lulus, aku kembali tinggal bersama dengan orang tua. Beberapa saudara ibu yang selalu bertemu, juga jarang menanyakan pertanyaan aneh selama lebaran. Hanya saja, pada saudara ibu yang jauh, kerabat ayah yang jauh ataupun teman lama ayah, yang selalu menceritakan tentang anak-anaknya kemudian memancing pertanyaan tertentu pada orang tuaku lah yang menjadi sebuah ketakutan tersendiri bagiku selama lebaran. Bahkan saat lebaran pun masih belum datang, kekhawatiran dan ketakutan itu sudah mulai terbentuk dengan sempurna di kepala ku.

Anehnya tanpa ku sangka. Saat pertanyaan dari saudara jauh itu muncul, hati dan pikiran ku bisa berkoordinasi dengan baik untuk merespon dengan sebuah senyuman, bahkan meminta doa mereka kemudian berterimakasih, setelah mereka menyampaikan harapan dan doa-doanya padaku. Lebaran hari pertama tak seburuk yang ku kira, dan syukur aku bisa melaluinya.

Kemudian aku berkontemplasi sambil memandang wajah bapak ibu yang duduk bersebelahan, dan sesekali melihat cuitan banyak orang di dunia maya tentang sepinya lebaran mereka setelah badai pandemi dua tahun belakangan ini. Ternyata, banyak yang tak  dapat menjumpai lagi senyum bahagia orang tuanya saat lebaran tahun ini.

Aku tersadar akan suatu hal, bahwa setiap momen yang bisa ku lalui pada lebaran kali ini, dengan kondisi orang tua yang alhamdulillah sehat, adalah sebuah harapan bagi anak-anak lain yang orang tuanya sudah berpulang terlebih dulu, atau tidak mungkin untuk bertemu karena beberapa kemungkinan.

Bahwa, momen ketika aku bisa berlebaran, sungkem dan menangis tersedu dalam pelukan ibu dan ayah adalah momen yang mungkin, dalam beberapa dekade ke depan menjadi momen yang paling ku rindukan dalam hidup.

Bahwa, momen ketika aku melihat ayah menangis saat berlebaran dengan saudara jauhnya adalah sebuah pengingat bahwa lebaran bagi mereka adalah momen peluang untuk berbagi tawa dan cerita, walaupun terbatas layar kaca.

Bahwa, momen-momen yang terlihat biasa saja saat ini, akan menjadi memori luar biasa yang tak akan pernah ku lupakan suatu saat nanti. 

Bahwa, rendang dan lodho yang selalu ibu masak sebagai menu wajib setiap lebaran datang, akan menjadi dua masakan yang paling aku rindukan rasanya dalam beberapa dekade yang akan datang.

Aku menyadari, bahwa ayah ibuku tak lagi muda. Dan kehidupan tak pernah menawarkan keabadian. Serta waktu selalu memiliki batas. Walaupun aku selalu berdoa agar mereka selalu bersamaku, tapi suatu saat realita akan tetap datang menyapaku.

Akhirnya aku lebih banyak berkontemplasi pada malam kedua lebaran waktu itu. Daripada menghabiskan energi dengan pikiran-pikiran yg belum tentu terjadi, alangkah baiknya aku fokus saja dengan momen lebaran yang ku habiskan bersama orang tuaku. Karena, bisa jadi dalam beberapa dekade ke depan, aku akan sangat merindukan memori-memori yang terbentuk hari ini. 


Kepada tulisan-tulisan yang bertebaran di twitter tentang memaknai lebaran, aku sungguh berterimakasih padanya karena telah menyadarkanku akan banyak hal.
Dan pada Ayah ibuku semoga beliau berdua sehat selalu.


Komentar